Hulu Sebagai Penyangga Air yang Juga Dihantui Krisis

Air seolah menjadi hal yang paling sering ditemui masyarakat di hulu Bali, Batur sebagai daerah hulu Bali dikenal sebagai salah satu pusat peradaban air di Bali. Hal ini dapat dilihat dari suplai cadangan air di wilayah hutan Gunung Batur, wilayah Danau Batur, dan sebelas sumber air yang mengeliling Batur; sering disebut sebagai petirtaan solas yang juga menjadi sumber toya bagi umat hindu di Pura Ulun Danu Batur

Dekatnya warga Batur dengan sumber air ini seolah menjadi paradoks di kemudian hari, bahwa kosmologi yang diturunkan leluhurnya dengan begitu canggih itu perlahan dihantui oleh krisis air yang semakin menjadi. Sulitnya mengakses sumber-sumber air telah dirasakan oleh I Wayan Arya, petani yang juga menjadi Jro Kasinoman di Pura Ulun Danu Batur. Selain karena faktor geografis, faktor lain terkait distribusi dari PDAM juga dirasa masih kurang berpihak.  “Dulu di sini ndak ada mengaliri air. Dulu ngambil sendiri-sendiri ke sana [sumber air]. Pake belek atau jerigen. Sekarang sudah ada mesin. Wenten pompa. Tapi yen ampun musim panas,  ngantre. Bergilir, dapat dikit-dikit. Paling cukup untuk kebutuhan rumah tangga aja. Ndak bisa make air untuk nyiram itu. Untuk nyemprot ndak bisa. Kurang itu.” pungkas I Wayan Arya.

Read more

Rahim yang Berbicara

Budaya patriarki yang masih dominan dianut di Indonesia menyebabkan segala lini baik dalam keseharian, pendidikan, kebudayaan, bahkan seni membuat perempuan (secara sengaja atau tidak) dianggap sebagai bagian dari pelengkap saja. Dengan demikian, okupasi ruang baik dalam keseharian maupun ruang publik kerap didominasi oleh laki-laki. Dominasi tersebut berimbas pula pada skena seni, salah satunya adalah skena seni rupa yang ada saat ini. Munculnya nama-nama perupa perempuan dalam skena seni rupa membuat berbagai perspektif muncul termasuk narasi perempuan yang setidaknya menjadi validasi bahwa narasi-narasi dalam seni rupa tidak hanya diproduksi oleh laki-laki. 

Dewi Candraningrum mulai terdengar sebagai aktivis, akademisi sekaligus perupa perempuan yang melahirkan karya-karya lukisan dengan tema yang cukup spesifik; pendokumentasian rahim. Dewi Candraningrum adalah pengajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta, ia juga kerap kali bersolidaritas untuk gerakan perempuan, lingkungan dan kemanusiaan. Salah satu aktivismenya dapat dilihat pada Gerakan Kendeng melawan pabrik semen. Aktivisme dan latar belakang kultural tersebut cukup banyak mempengaruhi karya-karyanya. Dewi mulai menekuni dunia seni rupa melalui lukisan-lukisannya tentang perjuangan perempuan.

Read more

Dibalik Bencana Ekologi yang Terjadi Saat Ini

Indonesia telah mengalami 1.926 kali bencana alam berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sebagian besar dari bencana yang terjadi hingga Juni 2022 ini adalah banjir (747) dan cuaca ekstrem (690), kemudian diikuti bencana tanah longsor (373) dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) (92). Empat bencana yang mendominasi ini sebenarnya sudah kerap menghampiri Indonesia dan telah dilakukan upaya mitigasi menurut BNPB. Bahkan institusi kebencanaan ini telah menyatakan bahwa Indonesia sudah mengalami darurat ekologis. Namun, upaya-upaya mitigasi yang dilakukan terkadang luput dari sumber masalah yang ada. Bencana langganan itu menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia  (Walhi) terjadi akibat dari kerusakan lingkungan hidup yang semakin masif.

Photo by Norman Meyer on Unsplash

Read more

Menghadapi Perubahan Iklim

Bencana bertubi-tubi muncul sepanjang tahun 2021. Banjir bandang dan tanah longsor terjadi di Indonesia, tepatnya Nusa Tenggara Timur yang telah menelan ratusan korban dan kerugian lebih dari Rp. 24.409.100.000. Di belahan bumi lainnya, bencana yang tak terduga terjadi. Hujan ekstrim dan badai telah menyebabkan banjir bandang di Jerman dan Belgia. Kemudian gelombang panas telah menghasilkan kebakaran hutan di Yunani, Amerika Serikat, Canada, dan Australia.

PLTU Batubara di Desa Celukan Bawang, Buleleng (Foto by Gusti Diah)

Read more