Rahim yang Berbicara

Budaya patriarki yang masih dominan dianut di Indonesia menyebabkan segala lini baik dalam keseharian, pendidikan, kebudayaan, bahkan seni membuat perempuan (secara sengaja atau tidak) dianggap sebagai bagian dari pelengkap saja. Dengan demikian, okupasi ruang baik dalam keseharian maupun ruang publik kerap didominasi oleh laki-laki. Dominasi tersebut berimbas pula pada skena seni, salah satunya adalah skena seni rupa yang ada saat ini. Munculnya nama-nama perupa perempuan dalam skena seni rupa membuat berbagai perspektif muncul termasuk narasi perempuan yang setidaknya menjadi validasi bahwa narasi-narasi dalam seni rupa tidak hanya diproduksi oleh laki-laki. 

Dewi Candraningrum mulai terdengar sebagai aktivis, akademisi sekaligus perupa perempuan yang melahirkan karya-karya lukisan dengan tema yang cukup spesifik; pendokumentasian rahim. Dewi Candraningrum adalah pengajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta, ia juga kerap kali bersolidaritas untuk gerakan perempuan, lingkungan dan kemanusiaan. Salah satu aktivismenya dapat dilihat pada Gerakan Kendeng melawan pabrik semen. Aktivisme dan latar belakang kultural tersebut cukup banyak mempengaruhi karya-karyanya. Dewi mulai menekuni dunia seni rupa melalui lukisan-lukisannya tentang perjuangan perempuan.


Lukisan Jugun Ianfu, Perempuan Penyintas Perbudakan Pada Masa Penjajahan Jepang (Foto: Sayu Pawitri)

Ia mulai bermain-main dengan acrylic, melahirkan karya lewat kemampuan rahim untuk berbicara. Aktivisme dalam melukis ini dimulai sejak saat ia menemani anaknya yang menderita autisme melukis. Dewi kerap menyiapkan cat dan mengarahkan warna-warna yang dituangkan anaknya dalam kanvas, keinginan untuk melukis kemudian muncul karena anaknya. Sejak saat itu Dewi selalu menyebut dirinya “dilahirkan” kembali oleh anaknya, dalam artian proses berkaryanya dipengaruhi besar oleh anak laki-lakinya itu. Baginya sebagai seorang ibu, ia dilahirkan kembali oleh anaknya. Inilah yang membuat ia percaya diri dalam menuangkan karya-karya seni rupa nya.

Karya-karya Dewi banyak berbicara tentang dokumen rahim, narasi dokumen rahim hadir sekitar tahun 2012 ketika Dewi mulai menginisiasi forum diskusi Jejer Wadon di Balai Soedjatmoko, Surakarta. Jejer Wadon sendiri berasal dari bahasa Jawa, dimana Jejer berarti tegak/sejajar dan Wadon berarti perempuan, pemilihan nama tersebut tentu menitip harapan terkait kesetaraan pada perempuan. Forum diskusi Jejer Wadon kemudian banyak membicarakan sejarah perempuan, terutama perempuan penyintas kekerasan di masa lalu. Munculnya forum diskusi ini menjadi salah satu pemantik dalam perjalanan kekaryaan Dewi, di samping pengalaman pribadinya sebagai perempuan.

Pada tahun 2013, Dewi dan anaknya menggelar pameran bersama di Bentara Budaya Solo bertajuk Collaborative Exhibition Mother and Autistic Son: Ivan Ufuq Isfahan & Dewi Candraningrum. Pada saat itu karyanya banyak berbicara tentang kekerasan pada perempuan. Karya Dewi yang memotret perjuangan perempuan-perempuan ini dianggap sebagai dokumen rahim dan menjadi pengingat bagi kita semua bahwa kekerasan sistemik pernah terjadi pada perempuan Indonesia di masa lalu dan masih berlanjut hingga hari-hari ini. 

Dewi pun memilih warna-warna cerah untuk menggambarkan semangat hidup bagi penyintas dan menghilangkan stigma buruk yang melekat pada mereka selama ini. Perjalanan berkarya Dewi juga berkelindan dengan pengalamannya selama ini, selain melukis potret perempuan penyintas kekerasan di masa lalu Dewi banyak melukis potret perempuan dan ekologi. Salah satu lukisan yang ia buat adalah lukisan Kartini Kendeng dan laki-laki pejuang lingkungan yang melawan pembangunan pabrik semen di wilayah Pegunungan Kendeng Utara.

Konflik ekologi nampaknya tidak akan luput dari pendokumentasian rahim Dewi Candraningrum, sebab hampir sebagian wilayah di Pulau Jawa dimasuki alat-alat berat untuk diambil sumber dayanya. Konflik ekologi menjadi potret bagaimana pengalaman beririsan dengan konflik sebenarnya membahayakan semua pihak, terlebih perempuan dan kelompok adat. Lukisan Dewi terkait isu Kendeng menjadi alarm bagi kita semua terkait perampasan ruang hidup dan perkosaan terhadap Ibu Bumi yang berdampak pada kehidupan perempuan dan masyarakat adat di sekitar Pegunungan Kendeng.

Foto: Dewi Candraningrum