Perjuangan Agraria Petani Eks-Transmigran Timor Timur

Sejauh 964,4 mil tempat di mana Nengah Kisid pernah menanam berbagai jenis tanaman pangan dengan mudahnya. Ia tidak pernah berpikir tentang keberadaan air, karena selalu ada dan berlimpah, atau tanah yang tak perlu diminta ia sudah dapatkan. “Pokoknya kita tinggal pilih aja mau tanam apa, karena airnya sepanjang tahun mengalir, jadi potensi pertaniannya besar,” kenang pria yang ikut program transmigrasi pada 1985. Tentu kondisi yang berbanding terbalik dengan yang Nengah Kisid rasakan saat ini. Tepatnya setelah kembali dari Timor Timur pasca jajak pendapat pada 1999.

Nengah Kisid mencabut gulma di kebunnya, di Banjar Bukit Sari, Sumberklampok, 19 Januari 2023. Foto: Diah Pramesti

Tidak pernah terbayangkan oleh Nengah Kisid, bahwa ia akan meninggalkan Timor Timur. Terlebih meninggalkan segala yang ia bangun di sana dan kembali ke Bali dengan hanya membawa sertifikat tanah. Sebelumnya, Nengah Kisid telah memproyeksikan masa depan yang cerah di Timor Timur. Ia melihat berbagai potensi di sana, mulai dari pertanian, akses, maupun perkembangannya. “Karena kita masih leting pertama, pasti [dikasi] daerah pilihan, dan ternyata memang benar. Kalo lokasi saya dulu itu jalur antar provinsi. Pas lahannya di tengah-tengah dekat hutan dan jalan raya. Perkembangan transportasinya juga cepat,” ungkap Kisid. Meskipun pertama kali ia ke sana masih berupa semak belukar.

Nengah Kisid di kebunnya yang dikelilingi perbukitan,19 Januari 2023. [Foto: Diah Pramesti]

Nengah Kisid merupakan golongan pertama dalam program transmigrasi yang dilakukan pemerintah untuk Timor Timur yang baru saja bergabung dengan Indonesia pada 17 Juli 1976. Provinsi ke-27 ini lahir ketika Timor Timur dapat lepas dari penjajahan Portugis. Tepatnya pada 1974, para koloni Portugis ditarik dari Timor Timur, imbas dari runtuhnya kediktatoran Estado Novo 1926-1972. Namun, lepasnya Timor Timur dari Portugis tak membuatnya terbebas, sebab tidak berselang lama, Timor Timur bergabung dengan Indonesia. “Invasi Indonesia ke Timor Timur pada akhir 1975 menghadirkan rezim militer neokolonial dengan penekanan pada pembangunan pertanian untuk meningkatkan ekonomi dan integrasi politik,” menurut Christopher Shepherd dan Andrew McWilliam dalam artikel ‘Ethnography, Agency, and Materiality: Anthropological Perspectives on Rice Development in East Timor’.

Timor Timur sudah menjadi primadona, bahkan sejak lima abad yang lalu. Kondisi dan kekayaan alamnya turut menarik perhatian Kolonial Portugis, hingga pada abad ke-29 mereka menguasai wilayah ini. Sebelum Timor Timur lepas dari Portugis, pemerintah kolonial ini merancang berbagai program pertanian untuk meningkatkan perekonomian. Tepatnya pada pertengahan 1960an, pemerintah kolonial mulai mempromosikan produksi beras sebagai bagian dari rencana pembangunan. Tidak hanya di Timor Timur, beras juga menjadi target pengembangan bagi beberapa negara dunia. Obsesi terhadap beras ini hadir ketika Revolusi Hijau pertama kali diperkenalkan oleh William S. Gaud sebagai penanda keberhasilan rekayasa benih gandum dan beras.

Benih rekayasa yang didistribusikan pemerintah kolonial Portugis saat itu adalah benih yang dikembangkan oleh International Rice Research Institute (IRRI) dari Filipina. Mereka mengembangkan benih varietas IR5 dan IR8 yang diklaim lebih produktif dari varietas lokal. Selain benih, pemerintah kolonial juga membangun sistem irigasi.

Setelah Timor Timur lepas dari Portugis, program pertanian ini masih terus berlanjut dalam kendali Indonesia, terutama pengembangan lahan untuk padi. Bahkan dalam bentuk pemerintahan militer, masyarakat “dipaksa” untuk menanam padi. Timor Timur menjadi target baru program Revolusi Hijau, yang ditandai dengan pembangunan irigasi yang masif untuk padi. Aktivitas ini pun semakin menurunkan eksistensi pangan lokal.

Selain mendatangkan pangan “jenis baru” ke Timor Timur, pemerintah neokolonial juga membawa “orang luar” yang nantinya akan menerapkan sistem pertanian yang disusun pemerintah. Program transmigrasi pun dilakukan untuk mensukseskan target dari Revolusi Hijau.

Pemerintah Indonesia menargetkan masyarakat dari Jawa dan Bali yang telah menerapkan sistem pertanian irigasi untuk padi agar terlibat dalam program transmigrasi ke Timor Timur. Beberapa pelatihan–Bimbingan Massal (Bimas)–untuk sektor pertanian pun dilakukan dari 1968.

Menurut Gary E. Hansen dalam artikelnya berjudul ‘Indonesia’s Green Revolution: The Abandonment of a Non-Market Strategy toward Change, “Pemerintah membentuk Bimas sebagai simbol politik dari upaya negara untuk membangun citra baik terhadap program Revolusi Hijau,” seperti penggunaan benih beras varietas baru dan input kimia–pestisida dan pupuk kimia. Program Bimas ini pula yang diikuti Nengah Kisid sebelum berangkat ke Timor Timur. “Sebelum keberangkatan ke Timor Timur itu sudah dipersiapkan oleh pemerintah dengan diberi pelatihan. Pelatihannya di Sleman, Yogyakarta selama sebulan,” ungkap Nengah Kisid sambil mengingat-ngingat perjalannya ke Timor Timur.

Keterkaitan Program Transmigrasi dengan Revolusi Hijau di Timor Timur

Tepatnya pada 1984, Nengah Kisid mengikuti pelatihan–Bimas–dengan 29 orang lainnya yang berasal dari Bali dan 30 sisanya berasal dari Timor Timur. Setelah sebulan lamanya mengikuti pelatihan, peserta kembali ke daerahnya masing-masing. Ketika tiba di Bali, Nengah Kisid mendapat sambutan dari militer. “Baliknya ke Denpasar sempat juga diundang makan malam oleh Kodam Udayana dan mendapat piagam yang langsung diserahkan oleh Bapak Gubernur Bali, waktu itu Pak Profesor Ida Bagus Mantra,” kenang pria berusia 60 tahun ini.

Sebagai “Petani Teladan”, Nengah Kisid juga memikul ‘beban’ untuk berbagi pengetahuan terkait apa yang telah ia peroleh selama pelatihan, baik ke sesama transmigran, maupun kepada masyarakat lokal. Informasi tentang “teknologi baru” yang Nengah Kisid peroleh masih terawat, sebab ia juga menerapkannya di kampung halaman.

Hampir setahun lamanya Nengah Kisid menanti keberangkatan ke Timor Timur, hingga pada 15 Mei 1985, ia berangkat bersama istrinya. “Berangkat dari Ngurah Rai dengan Hercules, pesawat miliknya AU [Angkatan Udara]. Kemudian turun di Dili, di situ dijemput dengan pengawalan ketat oleh para militer,” jelas pria yang juga kerap disapa Pak Ngah ini.

Situasi memang sedang genting ketika para transmigran datang ke Timor Timur, sebab masih banyaknya pro-kontra terkait integrasi daerah penghasil cendana ini dengan Indonesia. Para transmigran pun ditempatkan di wilayah perbatasan yang sering dihadapkan pada perang antara militer Indonesia dengan kelompok kemerdekaan Timor Timur.

Para Transmigran kloter pertama ini ditempatkan di Kabupaten Covalima. Butuh waktu dua hari dari Dili untuk mencapai kabupaten yang saat itu dipimpin oleh Bupati Rui Lopes. “Malam itu jalan terus, ndak ada istirahatnya, karena situasi masih genting sekali, jalan juga belum ada,” kata Nengah Kisid.

Tidak hanya jalur transportasi yang masih minim, Kabupaten Covalima pun masih minim penghuni. “Namanya saja kabupaten waktu itu, tapi masih sepi, masih semak belukar. Masih jarang sekali penduduknya, lebih banyak militer,” ungkap Nengah Kisid.

Kabupaten Covalima, Timor Leste

Dipilihnya Covalima sebagai tujuan transmigrasi oleh pemerintah karena kondisi tanah yang dirasa tepat untuk mengembangkan pertanian dengan sistem irigasi. Beberapa wilayah yang menjadi target utama untuk pengembangan padi adalah daerah yang sesuai dari kondisi tanah, ketersediaan air, dan cuaca. Covalima memiliki jenis tanah alluvial, daerah ini diklaim pemerintah sebagai kawasan yang “kurang dimanfaatkan”.

Nengah Kisid pun ditempatkan di Desa Beco, Kecamatan Suai, Kabupaten Covalima. Masing-masing KK, yang terdiri dari beberapa masyarakat lokal dan 35 KK transmigran mendapatkan 2 hektar lahan–25 are untuk pekarangan, 1 hektar untuk lahan garapan satu, dan 75 are untuk lahan garapan dua.

SK Tanah yang Nengah Kisid miliki di Timor Timur, 19 Januari 2023. [Foto: Diah Pramesti]

Meskipun beberapa masyarakat lokal mendapat bagian lahan, namun mereka termasuk masyarakat yang termarjinalkan. Kearifan budaya dari sistem pertanian dan pangan lokal mereka pun semakin lama kehilangan eksistensinya. Menurut Shepherd & McWilliam, “transformasi [dalam pertanian ini] telah memarjinalkan petani lokal. Mereka membawa sistem baru yang paling diprioritaskan yaitu produksi beras dengan model irigasi dan menetap. Sistem ini menyingkirkan sistem ‘tradisional’ yang sudah ada, yaitu pertanian berpindah.”

Program pertanian yang memprioritaskan beras tidak hanya diterapkan untuk Timor Timur, melainkan di sebagian besar wilayah di Indonesia. Pada awal 1970, Indonesia mulai memprioritaskan anggarannya pada pertanian dalam program Revolusi Hijau. Sebelum pencanangannya, pada awal 1960an Indonesia telah mengimpor benih beras dan dikembangkan di Jawa. Langkah ini juga didukung oleh beberapa akademisi dari Institut Pertanian Bogor yang melakukan eksperimen kepada beberapa desa di Jawa. Namun saat itu masih banyak penolakan dari petani.

Banyak faktor yang mempengaruhi penolakan petani terhadap “teknologi baru” ini, mulai dari minimnya dukungan pelatihan dan pendampingan, permasalahan logistik, dan korupsi pemerintah pada proses pembayaran kredit yang dilimpahkan ke petani. Namun, pada pertengahan 1968, pemerintah hadir dengan konsep yang lebih baru yang ditandai dengan kerjasama antara Indonesia dengan perusahaan kimia luar negeri seperti Ciba dari Swiss, dan beberapa perusahaan dari Jepang dan Jerman Barat. Dalam program ini, mereka memperkenalkan sistem aerial spraying untuk penyemprotan pestisida. Perusahaan luar ini langsung memberikan layanan pesawat dan pilotnya untuk pengimplementasiannya. Selanjutnya, dalam kontrak kerjasama ini, perusahaan juga melakukan kampanye yang masif untuk mencapai tujuan dari Revolusi Hijau. Namun, menurut Gary E. Hansen, “adaptasi terhadap teknologi baru ini telah mengurangi otonomi petani.”

Di tengah kampanye dan penerapan yang masif, Indonesia semakin terlilit hutang. Negara membebankan biaya yang mahal ini kepada petani dengan menargetkan hasil yang tinggi dan menjerat mereka dengan kredit. Pemerintah mulai membangun banyak bank di sekitaran pulau Jawa untuk mempermudah petani mencari kredit dan mampu membeli input kimia. Sistem ini pun dinilai tidak efisien dan menjadi ladang korupsi. Selain berdampak pada perekonomian, secara ekologis, penggunaan aerial spraying yang terlalu masif berdampak pada kontrol hama yang semakin resisten. Kemudian, ikan-ikan di sungai juga keracunan akibat paparan pestisida.

Petani semakin tidak punya kendali, sebab benih yang dianjurkan pemerintah sangat bergantung pada pestisida dan pupuk kimia. Benih rekayasa ini pun kurang bisa beradaptasi dengan kondisi di Indonesia.Tapi, obsesi pemerintah terhadap beras semakin besar dan membuat ‘pemaksaan’ ini semakin berkepanjangan, hingga masyarakat secara perlahan beradaptasi.

Ketika beras sudah menjadi primadona dan asupan utama masyarakat Indonesia, permintaan terhadapnya pun semakin tinggi. Namun produksi beras tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan domestik, sehingga pada 1988, pemerintah harus mengimpor beras. Kondisi ini membuat petani semakin rentan dan kedaulatan pangan pun terancam. Padahal, sebelum beras menjadi pangan utama, beberapa daerah di Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Mereka membudidayakan tanamanan pangan yang memang sesuai dengan kondisi lokal.

Sebelum beras hadir, petani di Timor Timur menggunakan sistem pertanian yang berpindah-pindah dan sebagian menanam jagung. Namun, produksi jagung pun mulai ditinggalkan dan menjadi secondary pangan. Semakin besarnya obsesi pemerintah terhadap beras, maka jagung pun mendapat sedikit perhatian, tidak hanya dari pemerintah, tapi juga masyarakat lokal. “Kalo masyarakat lokal disana kebunnya berpindah-pindah, engga ada batas-batas, terus tanamnya jagung,” jelas Nengah Kisid.

Nengah Kisid pun menambahkan tentang perubahan yang terjadi pada pola tanam dan pola makan masyarakat lokal ketika para transmigran ditempatkan di Covalima. “Udah lama, dia [masyarakat lokal] berubah dari cara tanam dan cara pelihara, udah sama dengan kita, tapi itu butuh waktu lama.”

Selama lebih dari 20 tahun Pemerintah Indonesia melakukan pembangunan yang masif dari infrastruktur irigasi hingga transportasi untuk mempermudah aktivitas pertanian. Upaya ini pun berhasil meningkatkan popularitas beras sebagai makanan berkelas, atau menurut Shepherd & McWilliam sebagai ‘high-status staple food’“Generasinya udah berbuah, udah mulai tidak mau makan jagung. Setelah sudah bisa menghasilkan padi, ya dia udah bisa makan nasi, beras,” terang Nengah Kisid.

Ketika Nengah Kisid pertama kali ke Timor Timur, ia dibekali beras IR64 yang sudah pernah ditanam di Bali. Selain berbekal benih, Nengah Kisid juga berbekal ‘pengetahuan baru’ dari sistem pertanian yang telah diberikan pemerintah. “Para transmigran membagi pengetahuannya tentang pertanian dengan ‘teknologi baru’ kepada penduduk lokal,” dalam artikel yang ditulis Shepherd & McWilliam.

Para transmigran dan penduduk lokal memiliki hubungan yang baik, bahkan mereka hidup saling berdampingan. Kampung yang ditinggali para transmigran pun dipimpin oleh orang lokal, di mana mereka juga menjadi bagian dari kampung tersebut. “Kalo di kampung saya selang-seling tempatnya, jadi rumahnya pendatang-lokal-pendatang-lokal,” ungkap Nengah Kisid.

Namun, perlakuan pemerintah terhadap orang lokal dan pendatang jauh berbeda. Mereka dibuat terasingkan di tanahnya sendiri. Setiap orang, baik itu lokal maupun transmigran wajib membawa ‘surat jalan’ ketika ingin keluar dari kampung mereka. Nengah Kisid pun menjelaskan “Jadi ketika kita mau berpergian harus minta [surat jalan] ke kepolisian. Semua penduduk, apalagi [orang] lokal, dia lebih ketat lagi, karena untuk antisipasi mana orang hutan, mana orang kampung.”

Transmigran Ditempatkan di Daerah Konflik

Nengah Kisid memperoleh informasi bahwa orang hutan yang kerap diincar militer dan sering muncul di radio itu adalah Fretilin (Frente Revolucionria de Timor Leste Independente–Front Revolusi Independen Timor Leste). “Mereka hidupnya di hutan, karena mereka berperang gerilya di hutan. Mereka pejuang, berjuang untuk kemerdekaan,” tambah Nengah Kisid.

Fretilin dibentuk pada 1974, “ketika para pelajar Timor Timur yang mengenyam studi di Portugal kembali ke kampung halamannya dengan membawa ideologi ‘radikal’,” terang Ann Wigglesworth dalam artikelnya ‘The Growth of Civil Society in Timor-Leste: Three Moments of Activism’. Semangat mereka bangkit ketika sebagian besar masyarakat Portugal menentang pemerintahan fasis dari Estado Novo. Setelah kediktatorannya berhasil diruntuhkan, Portugal berkomitmen untuk melakukan proses dekolonisasi di wilayah jajahannya. Saat itu terjadi, Fretilin pun mulai mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste pada 28 November 1975.

Namun tidak berselang lama, tepatnya pada 7 Desember 1975, Angkatan Bersenjata Indonesia datang untuk mengintegrasikan Timor Leste dengan Indonesia–-dalam pemerintahan otoriter yang dipimpin Suharto. Saat itu, Fretilin berlindung ke hutan di pegunungan dan membentuk paramiliter bernama FALINTIL (Forças Armadas de Liberação Nacional de Timor Leste).

Meskipun gunung menjadi tempat perlindungan bagi para pro-kemerdekaan, mereka masih belum cukup aman. Beberapa kali militer melakukan pengeboman secara intensif di daerah pegunungan yang membuat orang-orang terpaksa berpindah-pindah. Militer pun semakin masuk ke hutan dan membangun ‘benteng’. “Di kampung itu di-Pam [Pengamanan] berapa regu. Ada di tengah-tenga h, di pintu masuk dan keluar, terus di bukit, di ketinggian ada juga pos, dijaga 4 pos di situ. Pos militer,” kata Nengah Kisid sambil mengilustrasikan posisi-posisi pos saat itu.

Selain pengeboman, kontak senjata antara Pro-Kemerdekaan dengan militer hampir setiap hari terjadi. “Jadi istilahnya saya tinggal di daerah konflik, suara-suara tembakan itu [terdengar] dekat. Itu lokasinya dekat, di perbukitan. Biasanya suara-suara kontak [tembakan] itu di pagi hari,” ingat Nengah Kisid.

Dari kejauhan Nengah Kisid mendengar suara tembakan setiap paginya. Setiap pagi itu pula, nyawa-nyawa kerap berjatuhan. Seperti yang dialami Ergilio Vicente, “hidupnya berubah ketika kakak dan ibunya ditembak militer Indonesia sewaktu mereka hendak mengunjungi ayahnya, salah satu anggota FALINTIL,” dalam wawancara yang dilakukan Ann Wigglesworth.

Meskipun Nengah Kisid bermukim di daerah konflik. Tidak pernah sedikitpun ia mendapat ancaman dari kelompok pro-kemerdekaan. “Kalo GPK [‘Gerakan Pengganggu Keamanan’ pemerintah] itu kan sebenarnya kalau kita bilang baik ya baik. Mereka engga pernah ganggu orang sipil itu, engga pernah. Ya selama kita disitu engga pernah mendapat teror,” ungkapnya.

Selain GPK yang digunakan negara untuk menyebut kelompok Pro-Kemerdekaan, ada juga istilah lain yang terbangun di masyarakat, pendatang maupun lokal. Mereka menyebut kelompok yang berpihak kepada negara sebagai ‘Pro-Jakarta’. Nengah Kisid pun menggambarkan bagaimana situasi saat itu di antara kedua kelompok itu, “Kalo pro-kemerdekaan mereka tidak mau memperlihatkan diri. Kalo pro-Jakarta, ini mereka yang berjaga di perbatasan dan bersenjata. Kalo orang lokal yang pro-Jakarta itu kan mereka milisi, dipersenjatai mereka.”

Dalam artikel yang ditulis Peter Hogarth, istilah ‘Jakarta’ digunakan para aktivis kiri sebagai kode bahwa akan ada pembunuhan massal. Memang dari tahun 1945-1990, ‘program’ pembantaian massal anti-komunis yang didukung Amerika Serikat bermunculan di seluruh dunia, setidaknya ada 23 negara, termasuk di antaranya Indonesia dan Timor Timur.

Di Timor Timur, mereka yang disebut pro-Jakarta adalah para milisi yang dibentuk pemerintah Indonesia. Pemuda di Timor Timur direkrut menjadi milisi lokal, lalu diberikan senjata dan tunjangan bulanan untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok pro-kemerdekaan. Para milisi ini pun memiliki hubungan yang kuat dengan jaringan kriminal dan Kopassus (Komando Pasukan Khusus).

Tekanan memang hadir di mana-mana, baik dari luar Timor Timur, maupun dari dalam. Upaya yang dilakukan Indonesia untuk menutup kesempatan kemerdekaan Timor Timur ini justru menumbuhkan perlawanan dari masyarakat. FALINTIL dan kelompok pro-kemerdekaan lainnya terus melakukan perlawanan gerilya di balik hutan. Bahkan menggunakan radio–sebagai media komunikasi–untuk melawan militer Indonesia. “Mulai tahun 1985 saya di situ, waktu itu masih terkenal ketuanya namanya Maria, dia perempuan. Saya sering dengar, kalau tentara mau gerakan ke hutan itu dia [Maria] sering hadang, dia cerita dulu di radio, tentara itu dihumorin,” kenang Nengah Kisid sambil tertawa. Ia pun mengulang apa yang diucapkan Maria di radio, katanya, “Pak tolong bawakan saya oleh-oleh Supermi satu dus,” lalu si tentara menjawab, “Oi, di mana kamu Maria?” Maria pun meresponnya dengan tenang, “Ya cari saja saya di hutan.”

Selain berjuang dari dalam hutan, masyarakat pro-kemerdekaan juga mendapat ‘tempat berlindung’ di gereja. Banyak aktivis yang melakukan pertemuan dan menyusun strategi di sana. “Gereja mendukung gerakan pro-kemerdekaan dan aktivitas pemuda dengan menyediakan tempat berlindung yang aman, bahkan bagi pemuda yang menjadi incaran militer,” tertulis dalam artikel The Growth of Civil Society in Timor-Leste.

Aktivitas para pejuang kemerdekaan ini juga kerap dilihat Nengah Kisid. Selain mendengar di radio, ia pun kerap melihat para pejuang itu berkumpul dan berdiskusi. “Di gereja ini khusus kalo di situ orang-orang yang pro-kemerdekaan. Berkumpulnya di situ,” terang Nengah Kisid.

Banyak yang mengetahui gereja sebagai tempat para aktivis berlindung, sampai akhirnya istilah shelter itu punperlahan lepas. “Pada 1991, militer mulai mencari mahasiswa dan mereka bersembunyi di Gereja. Militer Indonesia mulai menyerang gereja, lalu menembak Sabastião Gomes hingga ia meninggal,” dalam wawancara Ann Wigglesworth bersama Lemos, pejuang kemerdekaan dan Founder NGO Permatil.

Peristiwa meninggalnya Sabastião Gomes telah menyulut kemarahan dan semangat para pemuda untuk berjuang demi kemerdekaan. Sabastião Gomes pun menjadi simbol perlawanan yang berhasil menarik ratusan pemuda ikut dalam proses pemakamannya. Namun, peristiwa ini membuat pemerintah Indonesia khawatir, militer pun dikerahkan untuk membubarkan massa. Naas, pembubaran ini dipenuhi dengan aksi penembakan yang dilakukan militer. Pembantaian yang menghilangkan 271 nyawa pejuang kemerdekaan dan ratusan lainnya terluka. Peristiwa yang terjadi pada 1991 ini dikenal dengan Pembantaian Santa Cruz. Setelahnya, tumbuh semakin banyak perlawanan dari berbagai daerah, termasuk kota-kota di Indonesia.

Mahasiswa Timor yang belajar ke Indonesia mulai membangun jaringan dan berbagi tentang kabar serta situasi yang sebenarnya terjadi di Timor Timur. Mereka pun mulai berkolaborasi dalam menyebarkan informasi tentang perjuangan Timor Timur untuk merdeka. Dua isu yang mereka pegang; Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi.

Kerjasama antara mahasiswa Indonesia dan Timor Timur turut memperkuat perlawanan rakyat terhadap kediktatoran pemerintahan orde baru. “Mahasiswa Timor Timur juga diakui atas perjuangannya untuk meningkatkan kesadaran tentang demokrasi di Indonesia dan berperan dalam gerakan mahasiswa pro-demokrasi yang akhirnya menggulingkan Suharto dari kekuasaan pada 21 Mei 1998,” dalam artikel yang ditulis Nicholson, 2001.

Melihat Perjuangan Menuju Kemerdekaan Timor Timur

Runtuhnya pemerintahan Suharto pada Mei 1998 telah menjadi titik balik untuk Timor Timur. Para pejuang kemerdekaan langsung merencanakan strategi menuju era baru dan melahirkan harapan baru untuk Timor Timur. Pada Juni 1998, sekitar 500 pelajar dan mahasiswa melakukan pertemuan di University of East Timor (UNTIM). Rapat ini pun menghasilkan pembentukan East Timor Student Solidarity Council (ETSSC). Mereka memiliki misi untuk perdamaian, demokrasi, rekonsiliasi, dan mengkampanyekan penentuan nasib sendiri melalui referendum.

Berbagai kampanye pun dilakukan untuk menyebarkan informasi tentang runtuhnya kediktatoran Suharto. “Waktu Pak Harto lengser ada hembusan bahwa akan ada referendum,” kata Nengah Kisid.

Saat itu Nengah Kisid tengah melakukan aktivitas seperti biasa, ia menuju kabupaten untuk menjual hasil pertanian. Ketika dalam perjalanan, ia melihat kampanye dari kelompok pro-kemerdekaan, “saya ga sengaja ikut orang berkampanye. Yang pro kemerdekaan di kampung itu, mereka memperlihatkan fotonya Xanana Gusmão.”

Mulai dari 1998, ETSSC melancarkan berbagai pertemuan dan kampanye di seluruh kecamatan. Upaya yang dilakukan untuk membantu masyarakat memahami hak mereka untuk memilih, hak demokrasi mereka, upaya yang bisa dilakukan agar suara mereka didengar, dan untuk memahami makna dari referendum.

Kampanye kemerdekaan semakin mempersatukan masyarakat Timor Timur. Tiga hal yang menjadi sorotan, yaitu melepaskan masyarakat dari kemiskinan, buta huruf, dan penyakit. Semakin banyak kelompok pro-kemerdekaan yang berani tampil di publik. Namun, kondisi ini juga menjadi kesempatan para milisi dan kelompok pro-Indonesia untuk memetakan orang-orang yang mengancam mereka. “Yang pro-Indonesia itu dia pura-pura gotong royong di pinggir jalan. Jadi mereka tahu orang yang kampanye kemerdekaan itu. Mereka juga gotong royong di ketinggian, ternyata mereka mengidentifikasi orang-orang pro-kemerdekaan,” ungkap Nengah Kisid yang mulai menyadari strategi yang dilakukan kelompok pro-Indonesia.

Para transmigran pun diajak untuk melakukan gotong royong. Tanpa sadar mereka membantu kelompok pro-Indonesia ‘menyamar’. “Saya ikut gotong royong itu, disuruh pakai baju merah. Saya engga tahu, udah perintah dari kepala desa. Jadi yang pro-kemerdekaan memakai baju merah,” kata Gede Sudiartana, mantan Transmigran Timor Timur.

Bupati Covalima juga memerintahkan warganya–lokal dan transmigran–untuk mencari kelompok pro-kemerdekaan di hutan. “Kita diikutsertakan untuk gerak. Pak Bupatinya langsung memimpin, tapi dia bawa senjata. Kita cuma bawa sabit aja. Baru saya kebayang, kok mau mau saja disuruh saat itu ya,” kata Nengah Kisid sambil tertawa.

Selain ‘memerintahkan’ warga untuk bergerak, pemerintah juga mengerahkan para milisi untuk menyerang kelompok pro-kemerdekaan di Covalima. Pada akhir 1998, para milisi mulai melakukan penyerangan secara acak dan menargetkan beberapa mahasiswa. Kejadian ini pun terdengar sampai ke komunitas internasional.

Akhirnya pada 5 Mei 1999, sebuah pertemuan dilakukan antara Indonesia, Portugal, dan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) di New York. Mereka pun menandatangani sebuah kesepakatan yang meliputi prinsip-prinsip pemungutan suara universal di mana masyarakat Timor Timur dapat memilih untuk menolak atau bergabung dengan Indonesia.

PPB pun berupaya memfasilitasi proses menuju referendum dengan membentuk UNAMET (United Nations Assistance Mission in East Timor) yang nantinya akan menetapkan syarat-syarat untuk jajak pendapat. Pada akhir Mei 1999, ratusan anggota dari PBB tiba di Timor Timur. Bahkan mereka merekrut relawan; 600 orang dari masyarakat lokal dan 400 orang dari luar negeri. Segalanya dipersiapkan untuk pemilihan yang akan dilakukan pada Agustus 1999. Nama UNAMET pun terpampang di mana-mana, ratusan orang memakai seragam bertuliskan organisasi bentukan PBB itu. Mereka pun berhasil menarik perhatian banyak orang, termasuk Nengah Kisid. Bahkan ia menamai anaknya karena terinspirasi aktivitas yang dilakukan UNAMET. “Waktu itu anak saya yang keempat baru tiga bulan. Saya lihat ada banyak mobil UN itu, bertuliskan UNAMET. Jadi saat seperti itu ia lahir dan saya menamai dia Namet,” ungkap Nengah Kisid sambil tersenyum.

Meskipun UNAMET telah dikerahkan untuk melancarkan proses referendum, tapi para milisi masih melakukan kekerasan terhadap calon pemilih. Aksi mereka pun berhasil menunda jalannya pemungutan suara hingga tiga minggu. Namun para pemilih telah memberanikan dirinya untuk terlibat dalam penentuan nasib ini.

Pemungutan suara pun dapat dilakukan pada 30 Agustus 1999. Bahkan pemilih yang terdaftar mencapai 98.5%, walaupun mereka mempertaruhkan nyawanya untuk bisa hadir. Pasca pemilihan itu, kelompok pro-kemerdekaan lebih memilih untuk berlindung di pegunungan, sebab mereka tidak pernah tahu kesadisan apalagi yang akan diperbuat milisi. Ketakutan itu pun terjadi, pada 4 September 1999 hasil referendum keluar dan 78.5% masyarakat memilih untuk merdeka dan lepas dari Indonesia. Tidak lama setelahnya kekerasan meningkat.

Pengumuman merdekanya Timor Timur juga terdengar sampai ke telinga Nengah Kisid melalui radio. Ia ingat betul saat itu pukul 10 pagi, jalanan sudah sepi. Nengah Kisid baru saja bertemu dengan keluarganya di pengungsian–letaknya di Atambua, Kabupaten Beli. Namun setelah itu, situasi yang lebih buruk terjadi. “Begitu pengumuman hasil jajak pendapat, saya kan pas jenguk anak-anak di Atambua. Saya engga bisa balik lagi ke kampung, karena begitu masuk ke perbatasan, ada militer. Disitu bubar heboh,” kenang Nengah Kisid.

Tindakan brutal yang dilakukan para milisi dan militer Indonesia memakan korban dan merusak infrastruktur, termasuk sekolah dan rumah sakit. Saat itu UNAMET dan berbagai organisasi luar tidak ‘menyangka’ kisruh yang akan terjadi pasca kemerdekaan. “Milisi-milisi itu membawa senjata, mereka mengejar yang pro-kemerdekaan. Mereka berjaga-jaga di perbatasan, setiap mobil yang lewat distop langsung pakai parang,” jelas Nengah Kisid.

Nengah Kisid dan beberapa warga transmigran lainnya hanya bisa berlindung di Pura yang dibangun di Covalima. “Udah semua ngumpul di pura saja, kalau tidak salah ada 13 KK,” katanya.

Selama beberapa hari mereka terjebak di Pura, hingga pada 10 September 1999. Nengah Kisid bersama warga lainnya bisa menuju pengungsian dengan dikawal ketat oleh kepolisian. Kedatangan mereka telah ditunggu oleh keluarga dan transmigran lainnya di pengungsian.

Para transmigran yang ditampung di pengungsian juga beberapa kali merasakan situasi mencekam, ketika milisi datang. “Setelah jajak pendapat, mereka [milisi] sudah tahu orang-orangnya, mereka [pro-kemerdekaan] diambil di tempat penampungan,” ungkap Gede Sudiartana yang juga keluarga Nengah Kisid.

Gede Sudiartana pun mendengar istilah-istilah yang digunakan milisi dalam aksinya. “Mereka sering bilang mau cari pisang goreng, ternyata maksudnya menangkap orang-orang yang pro-kemerdekaan,” jelasnya. Nengah Kisid juga menambahkan, “kalau saya sudah dengar ada orang menjerit, berarti ada keluarga yang diambil. Karena sudah diambil begitu, jarang yang selamat.”

Penangkapan yang serampangan oleh milisi masih terus dilakukan, bahkan setelah warga transmigran kembali ke kampung halamannya. Tepatnya pada 11 September 1999, mereka dipulangkan kembali ke daerah asalnya–Jawa dan Bali. “Kita dipulangkan pakai Dobonsolo [kapal layar]. Satu kapal itu full dari pengungsi Timor Timur. Jadi Kupang ke Benoa [Bali] itu sekitar 26 jam,” kata Nengah Kisid.

Ketika sampai di Bali, para pengungsi dijemput langsung oleh kepala daerah masing-masing. Ada yang berasal dari Gianyar, Karangasem, Buleleng, dan beberapa kabupaten di Bali. “Kalo saya Buleleng, kebetulan ditampung di Gedung Kesenian, seminggu dikarantina. Setelah itu baru Bupati menginstruksikan semua kepala desa yang punya warga di Gedung Kesenian disuruh menjemput. Tapi saya ndak mau pulang dan beberapa orang lainnya juga,” ungkap Nengah Kisid yang berasal dari Desa Sari Mekar, Buleleng.

Nengah Kisid dan beberapa warga eks-transmigran lainnya memutuskan untuk tidak kembali ke desa mereka dan menuntut hak atas tanah yang sepantasnya mereka peroleh. Tidak jarang, setelah mereka memutuskan untuk ikut program transmigrasi dari pemerintah, mereka pun meninggalkan tanah di kampung halamannya. Saat mereka kembali, tanah itu sudah bukan miliknya lagi.

Ketika Eks-Transmigran Timor Timur kehilangan tanah di perantauan dan kampung halamannya, warga lokal Timor Timur masih diselimuti ketakutan di tanahnya sendiri. Wigglesworth pun menggambarkan situasi disana pada 20 September 1999, “saat INTERFET (International Force East Timor) tiba di Dili, jalanan sudah sepi dan hanya segelintir yang menampakan dirinya. Wajah-wajah ketakutan mengintip dari sudut-sudut bangunan yang hancur untuk melihat apakah yang datang itu kawan atau lawan.” Mereka adalah korban dari berbagai program pemerintah yang lebih memikirkan ekspansi dan surplus.

Berjuang untuk Hak Atas Tanah

Warga Eks-Transmigran Timor Timur yang memutuskan bertahan dan berjuang untuk hak atas tanahnya direlokasi ke Gedung Transito–yang sudah menjadi Kantor Imigrasi–di Singaraja. Kelak “Transito menjadi pusat perjuangannya [warga Eks-Transmigran Timor Timur] di Buleleng,” kenang Nengah Kisid.

Ada 25 keluarga yang ditempatkan di Gedung Transito. Setiap harinya mereka menyusun strategi baik untuk bertahan hidup maupun perjuangan agraria. Pada pagi hari mereka akan berpencar mencari pekerjaan, entah buruh bangunan ataupun kerja harian lainnya. Lalu di sore hari, mereka akan berkumpul dan mulai menyusun rencana. Hari demi hari mereka lalui di Transito. Bahkan anak-anak lahir saat itu, di masa perjuangan mereka. “Saya hamilnya waktu di pengungsian,” ungkap Putu Suastini sambil tertawa.

Putu Suastini adalah eks-Transmigran Timor Timur yang sudah ikut keluarganya merantau di usia 10 tahun. Ia pun menikah di Timor Timur. Namun, pada 1999 di usia pernikahannya yang masih muda, Suastini mesti menghadapi situasi berbahaya. “Saya dengar cerita-cerita dari orang tua, pas waktu udah dijemput, mereka [Transmigran] pergi kayak ngeliat di sekeliling, di sepanjang jalan itu, rumah-rumah udah pada hangus semua, engga ada yang tersisa, jadi itu penglihatan terakhir mereka di tanah itu [Timor Timur],” kata Dipa, generasi kedua Eks-Transmigran Timor Timur.

Dipa pun tidak henti mengagumi perjuangan agraria ini, ketika ia mendengar kisah-kisah orang tua dan pendahulunya untuk mendapatkan hak atas tanah. “Bisa dibilang prihatin sih, tapi mendengar cerita-cerita Pak Nengah Kisid dan beberapa tokoh, patut diacungi jempol lah perjuangan mereka,” tegas Dipa. Ia pun menambahkan, “Sebenarnya waktu di Transito hak-hak mereka seperti tempat yang layak juga engga dapat. Tentang kejelasan mereka mau ditaruh di mana juga engga tahu kan.”

Dalam upaya menuntut kejelasan, para Eks-Transmigran Timor Timur yang ditempatkan di Transito secara berkala mengunjungi Kantor Bupati. “Paling sering pokoknya 3 hari sekali itu saya pasti datangi kantor bupati. Pokoknya bosen Bupati itu lihat kita,” kenang Nengah Kisid sambil tergelak.

Berbagai cara dilakukan para Eks-Transmigran Timor Timur. Kondisi ini pun menarik perhatian masyarakat, hingga dukungan datang dari kelompok pengacara dan salah satunya membantu mereka untuk mendapatkan haknya. I Wayan Sudirta adalah salah satu dari tim pendamping Eks-Transmigran Timor Timur untuk melakukan audiensi dengan pemerintah. “Kita sudah sempat diantar ke Jakarta ini 17 orang, didampingi tim-nya Sudirta ketemu dengan beberapa kementerian. Waktu itu Pak Gubernur juga ikut, ketua DPR Bali juga ikut” ungkap Nengah Kisid.

Dalam audiensi yang dilakukan di tahun 2000 itu memberikan kesempatan Nengah Kisid untuk bersuara, ia pun berkata, “Kalau Bali memang tidak punya tanah, kita ndak kenapa. Tapi kalau Bali punya tanah, kami harus dapat tanah.” Saat itu, Gubernur Bali–Dewa Bratha–pun berjanji akan melakukan inventarisasi tanah-tanah yang produktif yang ada di Bali.

Namun ketika kembali ke Bali, pada audiensi kedua di Kantor Gubernur, Dewa Bratha mengatakan bahwa Bali tidak punya tanah. Pernyataan tersebut langsung membuat para perwakilan warga Eks-Timtim kaget dan kecewa. “Dia [Gubernur] bilang Bali tidak punya tanah, terus kemudian pengungsi itu dikembalikan ke kabupaten masing-masing. Mereka hanya menawari dua are di kampung halaman,” jelas Nengah Kisid.

Beberapa perwakilan ada yang dengan terpaksa menerimanya, seperti yang berasal dari Tabanan, Jembrana, ataupun Gianyar. Meskipun tanah yang mereka terima sangat jauh dengan yang mereka bangun dan rawat di Timor Timur. Mulai saat itu, proses pelegalan tanah dari pembuatan sertifikat hingga pemberian ramuan perumahan dilakukan. Namun warga yang tidak bersedia menerima tawaran dua are memutuskan untuk tetap berjuang dan menduduki Transito.

Hingga di penghujung tahun 2000, warga yang tinggal di Transito merancang strategi untuk melakukan demo di depan Kantor Bupati. Saat itu juga bersamaan dengan kisruh yang terjadi akibat gagalnya Megawati menjadi Presiden. “Waktu itu banyak yang melakukan bakar-bakar kantor, hancur-hancurnya itu. Masih tersisa beberapa saja bangunannya,” kata Nengah Kisid. Namun mereka memiliki tujuan yang berbeda. Bukan tentang siapa yang ‘berkuasa’ tapi tentang hak mereka yang semestinya dipenuhi.

Saat itu ada sekitar 200 orang dari Eks-Transmigran Timor Timur yang berdemo di depan kantor bupati. Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) telah berjaga di depan pintu. Namun ketika ada lemparan satu batu ke arah gerbang membuat mereka lari berhamburan. Kondisi ini dimanfaatkan para pengunjuk rasa untuk memasuki kantor Bupati. Sayangnya Kepala Daerah Singaraja tersebut tidak ada.

Tak terasa sudah setahun sudah warga Eks-Transmigran Timor Timur berjuang untuk mendapatkan haknya. Berbagai upaya mereka lakukan demi memperoleh tempat untuk hidup, mulai dari litigasi sampai aksi turun ke jalan. Warga masih sering berkunjung ke Kantor Bupati untuk memperoleh kepastian tempat hidup. “Setiap saya ke Kantor Bupati, Satpol PP-nya pasti bilang bapaknya tidak ada di tempat. Terakhir saya bilang…Iya akan saya tunggu sampai dia datang, baru saya pulang,” ungkap Pak Kisid sambil mengucapkan ulang kalimat yang ia lontarkan kepada petugas.

Sampai akhirnya Bupati Singaraja–Ketut Wirata–berjanji untuk melakukan inventarisasi tanah di Singaraja–Buleleng. Setelah itu ia memberikan tanah di Sumberklampok untuk pengungsi Eks-Timtim. “Suratnya masih ada, Pak Nengah cerita kalau surat itu yang jadi pedoman dia berani ke sini, berani perjuangkan tanah ini,” kata Dipa yang saat ini melakukan pengarsipan dokumen-dokumen warga Eks-Timtim di Sumberklampok.

Peta kawasan yang dihuni Warga Eks-Transmigran Timor Timur di balai Banjar Bukit Sari, Sumberklampok, 19 Januari 2023. Foto: Anang Putra

Pasca diberikannya tanah di Sumberklampok, Sudirta–tim pengacara Eks-Transmigran Timor Timur–menghubungi warga-warga yang sebelumnya menolak tawaran dua are. Mereka pun datang dan ikut membangun dan berjuang di Sumberklampok hingga saat ini.


Reporter: Diah Pramesti, Nanda Gayatri.

Bagian liputan mendalam Histeria Pewarta Warga (Balebengong)

Artikel ini sebelumnya sudah terbit di webiste Balebengong.id pada 10 Maret 2023