Hulu Sebagai Penyangga Air yang Juga Dihantui Krisis

Air seolah menjadi hal yang paling sering ditemui masyarakat di hulu Bali, Batur sebagai daerah hulu Bali dikenal sebagai salah satu pusat peradaban air di Bali. Hal ini dapat dilihat dari suplai cadangan air di wilayah hutan Gunung Batur, wilayah Danau Batur, dan sebelas sumber air yang mengeliling Batur; sering disebut sebagai petirtaan solas yang juga menjadi sumber toya bagi umat hindu di Pura Ulun Danu Batur

Dekatnya warga Batur dengan sumber air ini seolah menjadi paradoks di kemudian hari, bahwa kosmologi yang diturunkan leluhurnya dengan begitu canggih itu perlahan dihantui oleh krisis air yang semakin menjadi. Sulitnya mengakses sumber-sumber air telah dirasakan oleh I Wayan Arya, petani yang juga menjadi Jro Kasinoman di Pura Ulun Danu Batur. Selain karena faktor geografis, faktor lain terkait distribusi dari PDAM juga dirasa masih kurang berpihak.  “Dulu di sini ndak ada mengaliri air. Dulu ngambil sendiri-sendiri ke sana [sumber air]. Pake belek atau jerigen. Sekarang sudah ada mesin. Wenten pompa. Tapi yen ampun musim panas,  ngantre. Bergilir, dapat dikit-dikit. Paling cukup untuk kebutuhan rumah tangga aja. Ndak bisa make air untuk nyiram itu. Untuk nyemprot ndak bisa. Kurang itu.” pungkas I Wayan Arya.

Bak Sederhana di Rumah I Wayan Arya untuk Menampung Air Hujan pada Musim Kemarau, 30 April 2023 (Foto: Sayu Pawitri).

Selain memikirkan persediaan air untuk kegiatan pokok seperti minum, memasak, dan mencuci, sepanjang tahun sejak ia memutuskan menjadi petani, I Wayan Arya juga harus berpikir dua kali bagaimana caranya memenuhi kebutuhan air untuk kebun jeruk yang menjadi sumber penghasilan utamanya. Selain harus pandai menghemat pasokan air yang turun hanya pada musim hujan saja, ia juga dituntut untuk pandai dalam mengelola cadangan air yang didapat baik dari sumber mata air atau dari sumur tangkapan air hujan yang ia bangun secara mandiri. 

Sudah menjadi kebiasaan baginya untuk beradaptasi dan bertahan dari kondisi yang sewaktu-waktu bisa mengantarkannya pada lubang krisis. Batur sebagai daerah hulu dan penyangga cadangan air memiliki sisi dilematis bagi masyarakat dan makhluk hidup yang tinggal di dalamnya. Mereka dituntut untuk tanggap dalam setiap keadaan, baik saat air datang berlimpah di musim hujan, atau bahkan saat air mulai mengecil dan menghilang dari sumber utamanya di musim kemarau. Strategi bertahan dari kondisi geografis yang ditambah dengan krisis air hari ini membuatnya seolah kebal akan keadaan yang sewaktu-waktu bisa saja menyulitkan kehidupan mereka.

Petani I Wayan Arya Menunjukkan Lahan Kebun Jeruknya yang Sudah Sebulan Ditinggal Ngayah di Pura Ulun Danu Batur, 30 April 2023 (Foto: Bandem Kamandalu).

Di satu sisi, keberlimpahan hayati termasuk cadangan air seolah menjadi sumber energi utama bagi Batur. Namun di sisi lain kondisi geografis yang didominasi oleh dataran tinggi menyebabkan Batur kesulitan dalam mengakses air, dibandingkan dengan wilayah selatan (hilir) yang menerima pasokan air setiap harinya dari hulu. Bukan hal yang mudah ketika masyarakat hulu berkewajiban menjaga hutan penyangga airnya, sedangkan mereka masih mengalami kesulitan dalam akses air bahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. 

Dilema ini kemudian juga berkaitan erat secara kosmologi, di mana menurut masyarakat Batur, air menjadi salah satu sumber kehidupan yang vital. Air digunakan dalam banyak upacara dan ritus-ritus keagamaan di Batur. Pola pemuliaan air ini yang kemudian juga berkaitan erat dengan masyarakat di hilir yang menikmati air dari Batur. 

Upaya petani jeruk bertahan

I Wayan Arya bercerita banyak tentang bagaimana ia harus adaptif dengan setiap keadaan minim akses air di tempat tinggalnya. Tanpa diminta hemat air ia telah kesulitan dalam mengakses air untuk sehari-hari. Tidak ada kata hemat baginya, karena sedari awal tidak pernah ada sumber air yang berlimbah baginya, terutama untuk menyirami perkebunan jeruknya. “Air itu di sini itu kalau musim panes ndak mungkin hemat air [karena sudah kekurangan/krisis]. Kalau hujan semampu bapak menampung itu, ” ceritanya ditemui di depan kebun jeruknya.

Hingga tahun 2023, pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Ketenagakerjaan, Energi dan Sumber Daya Mineral (Disnaker ESDM) memaparkan bahwa di Provinsi Bali terdapat sebanyak delapan Cekungan Air Tanah (CAT) yang menjadi sumber cadangan air di Pulau Bali. Melalui peta sebaran CAT ini, pemerintah sebagai fasilitator dalam perizinan penggunaan dan eksploitasi air tanah juga memaparkan data penggunaan air bawah tanah yang terdaftar di Bali berdasarkan izin yang masih berlaku pada tahun 2019-2021 sebanyak 21,90 juta m3/tahun. Namun demikian, jumlah eksploitasi CAT lainnya masih banyak yang belum terdaftar di Disnaker Provinsi Bali. Selain itu, acuan yang digunakan pemerintah dalam mengeluarkan izin juga berdasarkan data imbuhan CAT di Bali pada 2008 dengan jumlah 1.598.00 juta m3. Data acuan yang cukup lama untuk melihat bagaimana proyek eksploitasi air tanah berjalan hingga saat ini.

Peta Cadangan Air Tanah (CAT) di Provinsi Bali, 2008 (Sumber: Disnaker ESDM)

Salah satu indikator eksploitasi air tanah di Bali dapat dilihat dari penelitian Balai Lingkungan Hidup Kota Denpasar pada Desember 2010, mencatat sebanyak 1.088 sumur bor yang mengantongi izin operasional di Kota Denpasar. Volume pengambilan air tanah yang dilakukan sumur-sumur bor tersebut selama bulan November 2010 adalah sekitar 4.183.452 m3. Jika dirata-ratakan selama setahun, maka eksplorasi air tanah yang dilakukan oleh industri di kota Denpasar adalah sebesar 50.201.424 m3. Hal ini juga dijelaskan pada laporan akhir Bali Water Protection tahun 2018 yang menerangkan bahwa laju penurunan air tanah pada kurun waktu 1985 – 2004 untuk Cekungan Air Tanah Denpasar-Tabanan adalah sebesar 7,37 – 153,68 cm/tahun.

Data terkait eksploitasi sumber CAT di Provinsi Bali ini nampaknya harus menjadi concern utama ketika berbicara tentang cadangan air yang vital. Sebab, dalam catatan akhir tahun 2019, Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Pengurus Daerah Bali pun memaparkan bahwa tingkat eksploitasi air tanah secara terus-menerus di Bali mengakibatkan terjadinya subsiden atau penurunan permukaan tanah.

Dalam konteks ketersediaan air, CAT menjadi salah satu sumber cadangan air yang paling vital. Hal ini juga ditegaskan oleh Lilik Sudiajeng dari PNB. Ia memaparkan bahwa CAT adalah sumber air cadangan yang menjadi warisan bagi generasi sekarang kepada generasi ke depannya. CAT adalah sumber daya penting dan vital yang akan menentukan apakah kita masih bisa bertahan hidup di bumi.

Meski demikian, ada beberapa perusahaan yang belum mendaftarkan izin untuk eksploitasi sumber air bawah tanah ini. Hal ini yang kemudian menjadi catatan bagi Disnaker Provinsi Bali untuk melakukan sosialisasi yang masif terhadap perusahaan yang belum mengurus izinnya sampai saat ini. Menurut Sekretaris Disnaker Provinsi Bali, pemanfaatan air bagi perusahaan terbagi ke dalam dua bagian, yaitu air bawah tanah dan air permukaan. 

“Tergantung volume, tergantung peruntukan, ada perusahaan memakai dua-duanya , ngambil air permukaan juga dia ngambil air bawah tanah juga,” jelas IB Surya Manuaba. Kedua-duanya bayar pajak cuma pajaknya untuk air permukaan disetorkan ke provinsi, air bawah tanahnya atau ABT ada kilometernya untuk pencatatan nilai pajak. Air permukaan juga begitu. .

Pengawasan wilayah CAT ini adalah pola manajemen air. Langkah-langkah eksplorasi dan eksploitasi sumber CAT ini juga dijelaskan oleh Disnaker ESDM melalui informasi selebaran untuk memberikan informasi terkait mekanisme penggunaan air dalam tiap CAT yang ada di Bali.

Selebaran Pamflet Prosedur Perizinan Pengusahaan Air Tanah di Bali (Sumber: Disnaker Provinsi Bali).

Namun, ketiadaan manajemen satu pintu dalam mengelola air di Bali membawa dampak yang kurang baik bagi warga penyangga di hulu. Timpangnya distribusi yang menyebabkan kesulitan akses air menjadi salah satu permasalahan bagi masyarakat di Batur dan Les. “Hal ini dipaparkan pegiat BWP. Airnya sebenarnya dari utara, kayak di kintamani  tapi orang kintamani tidak dapat akses air, nah ini kan bisa dilihat dari faktor geografis. Airnya memang di bawahnya dia terus dia bermukim di atas, nah ini kan masalah keadilan distribusi saja,” ungkap Putu Bawa.

Menurut Bawa untuk mempertegas peran pemerintah dalam mengakomodir kebutuhan primer akan air dengan mengedepankan manajemen terpadu satu pintu untuk cadangan air di Pulau Bali. “Kalau kita pisah-pisahkan, keadilan itu akan susah sekali tercapai karena itu nanti orang akan ngomongin skup kabupaten, skup kecamatan desa, Pamsimas, dan lainnya,” ungkap Bawa.

Kajian terkait air dibuat oleh Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA), tingkat kewenangan teknis di ESDM, pembangunan infrastrukturnya ada di PU.  Artinya terdapat perbedaan wewenang yang mengatur proses perumusan kajian dari awal hinggal implementasi akhir di tiap lembaga. 

Menyirami Kekeringan

Sebagai sumber peradaban air, Batur juga merupakan wilayah resapan air yang menjaga cadangan air sebelum dialirkan ke sumber-sumber air di hilir. Jero penyarikan bercerita bagaimana secara spiritual dan lingkungan pihaknya mengupayakan dilaksanakannya penjagaan terhadap daerah penyangga air di Batur. 

Misalnya revitalisasi idi kaldera, di kawasan di Pura Jati sampai ke Toya Yeh Mampeh. Kemudian ada Alas Pingitan yang ditanami tanaman-tanaman upakara  selain tanaman berkayu.

Meski demikian, pihaknya dari pemucuk Pura Ulun Danu Batur tetap mengharapkan ada upaya dan kebijakan lain yang dibangun pemerintah untuk menjaga ketersediaan air di Bali. Menurutnya, Batur dan model konservasinya itu bisa disebut juga One Island One Management, yang berarti perlu adanya upaya kolektif antara hulu dan hilir dalam menjaga daerah resapan air dan cadangan air tanah.

Sumber Air di Dekat Petirtaan Rejeng Anyar yang Dipercaya Menghubungkan Batur dengan Tejakula, 1 Mei 2023 (Foto: Bandem Kamandalu)

Pemerintah membawa rencana baru  yang diklaim mampu menampung persediaan air. “Nanti kan ada proyek besar ya, untuk pembangunan bendungan. Itu sebenarnya secara tidak langsung adalah sebagai upaya untuk pelestarian air tanah. Walaupun fokusnya di air permukaan ya,” sebut lilik Sudiajeng. 

Menurut siaran resmi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Bendungan Sidang akan memenuhi keperluan air di wilayah Sarbagita–Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. Proyek ini dikerjakan oleh Konsorsium PT. Brantas Abipraya (Persero) – PT. Universal Suryaprima dengan kontrak mencapai 809 miliar. 

Anggaran yang besar telah dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan air di Bali Selatan. Lalu bagaimana dengan Bali Utara yang harus menunggu lebih dari sehari untuk mendapat aliran air?

Selain keluarnya anggaran, pembangunan bendungan seluas 82,73 hektar ini bisa berdampak pada kestabilan ekosistem, seperti beberapa daerah di Indonesia. Ada pembangunan bendungan di Sumatera merampas ruang hidup orang tuan. Lalu, pembangunan Bendungan Bener di Wadas yang mengancam hutan dan masyarakat lokal. 

Eka Prabawata Memandangi Kekeringan Sungai di Belakang Kebunnya, 7 Mei 2023 (Foto: Bandem Kamandalu)

Ada lingkungan dan biodiversitasnya yang direlakan agar terlaksananya mega proyek pemerintah untuk menyuplai air di kawasan Sarbagita. Lalu kekeringan masih menjadi keseharian masyarakat di Desa Les–Bali Utara–dan di hulu–Batur adalah sebagian kecil contoh yang membuktikan ketidakadilan akses air yang terjadi di Bali. Bahkan mereka yang mendapat pengakuan secara adat sebagai pemimpin juga menghadapi krisis air, seperti Nengah Nuarta–Wakil Pekaseh Subak Les Uma Wangi–dan I Wayan Arya–Guru, Jero Kasinoman. Masyarakat adat yang lebih memahami daerahnya justru tak punya kendali akan daerahnya sendiri. Apalagi Made Suartini, petani perempuan yang semakin terhimpit dan sulit bersuara di tengah keterbatasannya dalam mengakses air. “Driki amon ten wenten air driki, mati, punyan kayu mati, kayang tiang nike mati. [Disini jika tidak ada air, mati, pohon kayu mati, sampai saya juga bisa mati],” ungkap Suartini dengan tersenyum pilu.

Dengan berbagai macam irisan yang muncul dari kompleksitas permasalahan air di Bali, bagaimana wajah Pulau Bali dalam dua puluh tahun ke depan, mampukah ia mempertahankan cadangan airnya? Siapa yang akan menjadi pemompa utama cadangan air untuk pulau yang kecil ini? 

Bagian liputan mendalam Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) 2023:

Penulis: Gusti Diah, Sayu Pawitri.

Fotografer & Videografer: Bandem Kamandalu, Gusti Diah, Sayu Pawitri.