Tren Masker: Dari Pelindung Menjadi Fesyen

Sumber foto kolase1 2 3 4 5

Tren masker di dunia semenjak COVID-19 dimulai dari sosial media. Para pesohor dengan bangga memperlihatkan berbagai koleksi masker mereka yang cenderung senada dengan pakaian yang dikenakan. Heuritech melansir, dari Januari 2020 hingga Mei 2020 jumlah posting menggunakan masker di instagram terus meningkat. Sebagian besar dipenuhi oleh para influencers di masing-masing negara yang membuat konten dengan tujuan memotivasi masyarakat untuk menggunakan masker, dengan mereka sebagai contoh.

Jika tren menggunakan masker baru muncul pada awal tahun 2020 ketika pandemi COVID-19. Beda halnya dengan berbagai negara di Asia Timur, khususnya Jepang, Cina, ataupun Korea Selatan. Penggunaan masker di negara-negara tersebut telah menjadi bagian dari budaya yang dikenakan setiap hari.

Budaya Mengenakan Masker

Menurut The Sydney Morning Herald, penggunaan masker secara medis mulai berlaku di Jepang, ketika pada tahun 1919 munculnya Flu Spanyol yang menghabiskan sebagian besar nyawa di dunia. Kemudian kembali lagi pada tahun 1923 ketika pertumbuhan industri berkembang sangat pesat di Jepang, disusul gempa yang sangat besar—Tokyo’s Great Kanto Earthquake—telah merusak kualitas udara di daerah tersebut. Penggunaan masker semakin menjadi keharusan ketika SARS epidemi muncul enam tahun silam.

Kebutuhan terhadap masker yang terus meningkat pun dilihat sebagai peluang bagi industri fesyen.  Japan Today melihat penggunaan masker dengan tujuan sebagai aksesoris dan kenyamanan telah menjadi sangat populer di kalangan remaja Jepang, hingga menjadi “tren fesyen”.

Tren bahkan budaya menggunakan masker juga terjadi di Cina. Bahkan Tirto melansir produsen masker asal Cina, Airpop bekerjasama dengan Hongkong Polytechnic University untuk mendesain masker yang sesuai dengan wajah orang asia dan dibandrol dengan harga hingga $50. Dari pengamatan Chen Dawei—desainer olahraga—dalam wawancaranya bersama South China Morning mengatakan, “ketika udara tidak bagus, orang-orang yang tidak mengenakan masker dipandang sebagai ET.” Maka tak heran jika muncul berbagai industri fesyen yang khusus memproduksi masker. 

Masker dalam Dunia Fesyen

Di Korea Selatan sendiri kehadiran masker dalam dunia fesyen dapat dilihat dari berbagai penampilan para pesohor yang memamerkan masker mereka melalui Street Style dalam Seoul Fashion Week.

Menanggapi COVID-19, jenama-jenama ternama di luar kawasan Asia juga mengeluarkan koleksi masker mereka, seperti Urban Outfitters, Prabal Gurung, Rag&Bone, Rowing Blazers, hingga Lacoste dengan berbagai pola dan model. Namun hingga awal September 2020 peluang ini belum diambil oleh rumah mode terkenal. The Guardian melansir, meskipun pada awal Januari Gucci mengeluarkan koleksi maskernya yang dikenakan oleh Billie Elish pada acara Grammys 2020, ataupun Virgil Abloh yang mengeluarkan koleksi Summer dengan 20 model masker. Namun peran “protective wear” masih dipertanyakan. Selain itu, Prada dan Luis Vuitton yang saat ini tengah gencar memproduksi masker bagi tenaga medis, belum juga mengeluarkan masker rancangan mereka sendiri untuk dikomersilkan. Meskipun saat ini, masker telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, yang juga digunakan untuk mengekspresikan diri.

Sampai akhir Agustus 2020, Burberry sebagai rumah mode ternama yang pertama kali mengumumkan koleksi masker mereka. Kehadiran koleksi ini mendapat respon positif dari para penikmat fesyen, yang permintaannya meningkat hingga 441%. Disusul oleh Givenchy yang merilis mask and cap combo.

Selain itu menurut laporan Sourcing Journal, jenama olahraga seperti Adidas maupun New Balance turut mengeluarkan koleksi masker spesial yang diperuntukan untuk pelari dan berbagai aktivitas olahraga outdoor. Bahkan dua jenama ini memproduksi koleksi maskernya menggunakan bahan polyester yang telah didaur ulang.

Elizabeth Way—asisten curator di The Museum at FIT—dalam wawancaranya bersama Harper Baazar, mengatakan “aksesoris akan memberitahu kita apa yang terjadi di masyarakat pada saat itu.” Kehadiran masker sebagai aksesoris akan memperlihatkan situasi yang tengah terjadi. Disamping sebagai alat perlindungan—dari COVID-19—masker menurut Marra-Alvarez juga sebagai simbol dari solidaritas dan termasuk memunculkan berbagai individualitas.

Sejarah Masker sebagai “Aksesoris”

Jika dilihat dari sejarahnya, mengenakan masker sebagai aksesoris dalam fesyen sebenarnya telah berlangsung jauh sebelum masker dikenakan sebagai alat medis. Tepatnya sekitar tahun 1162, masker (topeng) menjadi aksesoris yang penting di Venesia dan berbagai perayaan Karnaval. Masker yang biasanya dikenakan adalah yang berbahan seperti kaca, kulit, dan bulu. Kehadiran masker menjadi bentuk anonimitas dan menavigasi struktur sosial antara miskin dan kaya dengan melihat masker yang dikenakan. Menggunakan masker juga dinilai sebagai perilaku yang eksentrik, hingga Gereja Katolik di Venesia pada saat itu melarang penggunaan masker karena dinilai tidak sesuai masyarakat normal dan memunculkan ketidaktaatan. Namun mulainya masa Renaissance, masker kembali digunakan dalam aktivitas sehari-hari.

Saat ini, ketika masker menjadi kebutuhan paling fundamental dalam kehidupan sehari-hari, “aksesoris” ini juga memiliki potensi politik. Seperti yang terjadi pada awal-awal kemunculannya di Venesia. Karena masker telah menghadirkan anonimitas, navigasi sosial, individualitas, hingga solidaritas.

Tujuan Politis Menggunakan Masker

Mengenakan masker dengan tujuan politis nampak jelas terlihat pada sosok Nancy Pelosi sebagai ketua DPR Amerika Serikat. Dilansir Tirto, Nancy Pelosi kerap mengenakan masker senada dengan pakaian yang dikenakan. Bahkan Vanessa Friedman—kritikus fesyen—melihat bahwa upaya Nancy tersebut sebagai penyampaian makna bahwa ia tidak menyepelekan aturan untuk mengenakan masker demi kesehatan. Sikap yang juga bertentangan dengan lawan politiknya yang cenderung menyepelekan penggunaan masker. Nancy juga selektif dalam memilih masker dan gaya fesyennya untuk mencerminkan sikap dan pandangan-pandangannya dalam kapasitas sebagai ketua DPR.

Masker telah menjadi media “politik” yang masih sangat hangat selama pandemi, khususnya di Amerika Serikat. Mengutip Vogue, Shia Labeouf—aktor dan sutradara asal Amerika Serikat—terang-terangan menggunakan masker yang memperlihatkan sikapnya dalam pemilihan presiden mendatang.

Mengenakan masker juga sebagai sebuah pernyataan sikap terhadap topik sosial dan politik. Dimulai dari permasalahan lingkungan—seperti pemanasan global & kebakaran hutan—dan imigrasi, hingga tuntutan terhadap reformasi polisi dan gun control di Amerika Serikat. Ayer—Pendiri Benjamin Bellwether—memprediksi bahwa masker akan menjadi bagian dari “budaya protes” yang dipengaruhi fesyen. “Orang-orang akan mengenakan masker sebagai simbol dari bagaimana pemerintah telah gagal dalam menangani COVID-19, sebagai bentuk solidaritas terhadap pekerja kesehatan, ataupun sebagai aksi silent protest atas peristiwa yang kita semua alami bersama,” jelas Ayer dalam wawancaranya bersama Sourcing Journal.