Dibalik Bencana Ekologi yang Terjadi Saat Ini

Indonesia telah mengalami 1.926 kali bencana alam berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sebagian besar dari bencana yang terjadi hingga Juni 2022 ini adalah banjir (747) dan cuaca ekstrem (690), kemudian diikuti bencana tanah longsor (373) dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) (92). Empat bencana yang mendominasi ini sebenarnya sudah kerap menghampiri Indonesia dan telah dilakukan upaya mitigasi menurut BNPB. Bahkan institusi kebencanaan ini telah menyatakan bahwa Indonesia sudah mengalami darurat ekologis. Namun, upaya-upaya mitigasi yang dilakukan terkadang luput dari sumber masalah yang ada. Bencana langganan itu menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia  (Walhi) terjadi akibat dari kerusakan lingkungan hidup yang semakin masif.

Photo by Norman Meyer on Unsplash

Bila menelisik lagi kebelakang, kerusakan lingkungan akibat dari perkembangan masyarakat industri telah berlangsung dari abad ke-18. Ketika manusia dapat mengekstrak, mengangkut, dan mengelola lebih banyak lagi sumber daya alam, yang tentu mempengaruhi ekosistem alam. 

Saat ini, Indonesia seakan melanggengkan bentuk masyarakat industri, sebab kebijakan yang dibentuk negara tropis ini masih membuka peluang besar untuk berkembangnya industri ekstraktif–seperti tambang–dan perkebunan monokultur. Segala perkembangan itu melaju kencang tanpa memperhitungkan daya dukung dan tampung lingkungan hidup. Ketika ketimpangan hadir, maka bencana pun sulit untuk ditanggulangi–situasi yang disebut sebagai bencana ekologi. “Bencana ekologi terjadi sebagai bentuk akumulasi gagalnya proses pengurusan alam, ketidakadilan yang berujung pada satu bencana,” ungkap Satrio Manggala, Manajer Kajian Kebijakan dari Walhi Nasional dalam acara Rumah Resiliensi Indonesia—side-event GPDRR 2022.

Kerusakan Lingkungan dan Bencana yang Menyertainya

Bencana ekologi tentu sangat berdampak buruk, baik bagi alam maupun manusia dalam situasi sosial dan ekonominya. Terlebih ketika bencana itu datang terus menerus tanpa jeda dan hadir di luar segala apa yang dibayangkan manusia sebelumnya: lumpur lapindo. Bencana yang titiknya bermula dari Sidoarjo ini menjadi erupsi terbesar dan paling merusak yang pernah diketahui. Semburan lumpur itu pertama kali muncul pada 29 Mei 2006 dan tidak pernah berhenti sampai saat ini. Berdasarkan laporan dari Nature Geoscience journal, para peneliti menemukan data baru bahwa penyebab dari bencana lumpur panas ini adalah Lapindo Brantas. “Saat ini kami yakin 99% bahwa hipotesis itu sudah valid,” kata Mark Tingay, ilmuwan bumi dari Universitas Adelaide dalam wawancaranya bersama New York Times.

Ketika sebagian besar ilmuwan dan aktivis menemukan data yang kuat terkait penyebab dari luapan lumpur panas itu, masih banyak masyarakat yang belum menerima kompensasi yang setimpal. Seperti dialami Sukardi yang baru menerima 1,5 juta rupiah sebagai kompensasi untuk bencana yang ia alami lebih dari 15 tahun. Selain lumpur, bencana ini juga menyebabkan air di desa-desa sekitaran Sidoarjo terkontaminasi. Bahkan Warsita–warga yang tinggal di Gempol Sari–harus membayar Rp. 10.000 untuk membeli air bersih. “Air sangat lengket dan tidak segar. Ketika dicampur dengan sabun, tidak ada busa yang muncul. Kami tidak tau tentang racun apa yang ada, namun dengan melihatnya langsung, ada sesuatu yang tidak baik-baik saja,” ungkap Warsita.

Selain mengambil ruang hidup warga, Lumpur Lapindo telah mengeruk segala sumber penghidupan dan semakin membuat mereka rentan. Ketimpangan hadir dari aktivitas ekstraktif industri. Menurut Satrio, lumpur lapindo merupakan bencana industrial yang muncul karena tidak adanya aturan yang melarang industri beroperasi di kawasan rawan bencana. 

Tidak diperhitungkannya bencana ekologis dalam regulasi penanggulangan bencana membuat bencana-bencana di luar apa yang dibayangkan terjadi. “Bencana yang belakangan sering terjadi ditambah krisis iklim itu ada banjir, longsor, dan kekeringan hingga kebakaran. Ini diakibatkan dari gagalnya pengurusan alam di Indonesia, karena alam kita diobral begitu saja oleh negara untuk industri-industri ekstraktif yang eksploitatif,” tegas Satrio.

Industri yang Menyebabkan Krisis Lingkungan

Aktivitas industri yang eksploitatif membuat bencana terjadi dalam skala lokal, regional, maupun global. Belakangan istilah krisis iklim ramai diperbincangkan. Fenomena yang sebenarnya sudah diprediksi oleh para ilmuwan lebih dari 50 tahun yang lalu. “Industri pertambangan juga memberikan sumbangsih kepada emisi karbon yang meningkatkan krisis iklim. Krisis ini pun mengakibatkan rentetan yang lain,” jelas Satrio.

Semakin meningkatnya emisi karbon akan berdampak pada bencana hidrometeorologi–seperti cuaca ekstrim, banjir, tanah longsor, dan kekeringan–dan semakin kuatnya anomali iklim–seperti La Nina. Fenomena ini pun memicu peningkatan curah hujan antara 20-70% dan menjadi semakin intens akibat perubahan iklim. Meningkatnya curah hujan telah berpotensi mengakibatkan banjir bandang, seperti yang terjadi di Batu, Malang. 

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), ketika banjir bandang menerjang, hujan kumulatif sebesar 80,3 mm berlangsung selama dua jam. Padahal jika kondisi ekologi di areal Daerah Aliran Sungai (DAS) terjaga, maka potensi terjadinya banjir bandang dapat diminimalisir. Adanya tanaman dan organisme tanah di sekitar DAS dapat menciptakan ruang pori di tanah yang berfungsi sebagai penyerap dan penampung air. 

Wilayah lainnya yang terancam banjir bandang dan tanah longsor adalah Pulau Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Kerentanan ini terjadi karena ekosistem di sebagian besar DAS memprihatinkan. Ketiga wilayah tersebut pun masuk dalam 108 DAS kritis di Indonesia. 

Selain kondisi DAS, daerah resapan air yang berkurang–seperti hutan–juga berpotensi menyebabkan bencana hidrometeorologi. Bahkan cyclon yang biasanya menjadi fenomena alam yang bergerak di pedalaman laut bisa menghasilkan multi-bencana di Nusa Tenggara Timur. Cuaca ekstrem, badai, banjir bandang, dan tanah longsor telah menerjang 560 pulau dan yang terparah berada di Adonara dan Lembata. Para pakar pun mengatakan, deforestasi yang terjadi di NTT telah berkontribusi terhadap bencana yang terjadi. Ketika tanah menjadi gembur tak tertutup, ia akan dengan mudah menyatu dengan aliran air, tanpa sempat menyerapnya. Fenomena ini pun mengakibatkan banjir bandang dan tanah longsor. “Aktivitas perusahaan yang melakukan penebangan hutan tanpa kontrol dan pengaturan negara yang tidak begitu ketat mengatur soal tata kelola alamnya, sehingga semua diobral. Secara akumulasi, aktivitas-aktivitas yang eksploitatif itu bisa berujung pada bencana di kemudian hari,” tegas Satrio.

Berbenah untuk Keberlanjutan Alam dan Kita

Keberadaan hutan sangatlah penting, ia juga dapat menyerap emisi yang menjadi kontributor terbesar dari pemanasan global. Hutan telah menyerap karbon dan mengintegrasikannya ke dalam daun, akar, dan biomassa mereka. Namun, ketika hutan dikeringkan atau mengalami alih fungsi, makan simpanan karbon akan terlepas ke udara dan menjadi sangat berbahaya. Kondisi hutan yang gundul, meningkatnya suhu bumi, dan tanah kering yang tidak bisa menyerap air akan memicu multi-bencana yang bahkan di luar apa yang bisa diperkirakan. “Yang kita ketahui secara umum tentang kebakaran hutan, itu akibat industri sawit yang melakukan pembabatan lahannya dengan cara membakar karena lebih ringan biaya dan lebih cepat. Lalu yang jadi korban kita semua, masyarakat,” ungkap Satrio yang lanjut menjelaskan bentuk-bentuk ketidakadilan yang hadir dari krisis iklim.

Meskipun para ilmuan, aktivis, maupun masyarakat sudah menyuarakan tentang dampak bencana yang diakibatkan dari aktivitas industri ekstraktif, namun regulasi masih belum menjangkaunya. Sampai saat ini pemerintah Indonesia belum mengakui bencana ekologis menjadi salah satu jenis bencana. Itu pun yang diperjuangkan Walhi dan beberapa aktivis lingkungan. “Ketika bencana ekologi ditetapkan dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana, maka ada aturan mitigasinya. Mitigasi ini bisa dimulai dengan mekanisme memperketat kajian resikonya,” tambah Satrio yang secara konsisten memperjuangkan diakuinya bencana ekologis dalam undang-undang. 

Satrio juga menuangkan penelitiannya selama ini melalui beberapa rekomendasi yang bisa ditawarkan. Menurutnya, ketika ada kajian risiko bencana ekologis, akan ada hitungan tentang daya tampung. Untuk itu, jika perusahaan mengeksploitasi lebih dari daya tampung yang ada, maka mereka dinyatakan melanggar. Dalam kasus ini pun perlu ditetapkan sanksi yang jelas. Selain itu, dalam pengamatan Satrio, saat ini penanggulangan bencana hanya sekedar menetapkan peta bencana. Tapi kemudian pembangunan atau izin yang dikeluarkan untuk industri tidak memiliki sanksi yang ketat ketika dilanggar. Peta pun hanya menjadi upaya peringatan dini.

Pemerintah perlu memperketat aturan regulasinya dengan membentuk regulasi yang menjadi payung dan terintegrasi dengan kebijakan sektoral yang lain. “Misalnya Undang-Undang Penanggulangan Bencana itu harus terintegrasi dengan UU Minerba, UU Kehutanan, sehingga dia menjadi salah satu kewajiban untuk patuh terhadap UU Penanggulangan Bencana,” kata Satrio.

Selain memperkuat regulasi, pemerintah juga perlu membenahi dan memperkuat institusi penanggulangan bencana. Untuk itu, institusi terkait tidak hanya melakukan upaya tanggap darurat, tapi juga mendapatkan kewenangan untuk menindak. “Selama ini BNPB baru diberikan kewenangan tanggap darurat saja. Tapi tidak diberikan kewenangan yang lain untuk secara kuat melarang atau menolak suatu rencana industri atau rencana pembangunan yang berpotensi mengakibatkan bencana,” tambah Satrio.
Kehadiran bencana tidak bisa dihentikan, tapi dampaknya masih bisa dimitigasi. Dari 2001 hingga 2021, Indonesia telah kehilangan 9.95Mha hutan primer. Kemudian, hadirnya industri penghasil emisi melebihi daya tampung bumi tentu berkontribusi besar terhadap hadirnya bencana hidrometeorologi. Aktivitas ini pun perlu dikontrol. Upaya yang selama ini diperjuangkan para aktivis adalah memasukan bencana ekologi dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana, sehingga ada regulasi yang mampu mengontrol perusakan lingkungan.