As I Want: Suara Kami Akan Lebih Lantang Lagi

*Caution Trigger Warning*

“Why is giving birth to a girl a lifelong worry?” 

Photo Source: https://cineuropa.org/film/397408/

Seorang perempuan yang sedang mengandung tampak mengelus-elus perutnya. Muncul gambar hitam putih dan banyak percakapan yang ia pertanyakan sendiri. Sampai pada satu titik, ia mengutip sebuah pernyataan, “you can hang your diploma on the kitchen,” sebab kata mamanya tempat terbaik untuk perempuan adalah rumah suami. Seolah itulah jawaban dunia atas pertanyaan-pertanyaannya tentang dirinya.

Gambar hitam putih kemudian berganti dengan latar belakang suasana protes. Suara teriakan bergemuruh, api menyala di mana-mana, saat itu Muslim Brotherhood berkuasa karena memenangkan pemilu. Protes dilakukan untuk menolak kepemimpinan Presiden Morsi di Tahrir Square, Kairo. Ribuan orang terlihat memenuhi ruang-ruang, di jalanan, di layar televisi. Semua lanskap yang terekam memotret begitu banyak manusia. Dalam kerumunan tersebut, tampak layar televisi melingkari satu kerumunan dengan garis berwarna merah. Seorang perempuan yang ikut berdemonstrasi dilecehkan oleh kawanan laki-laki yang memenuhi area protes pada saat itu. Sebanyak 187 perempuan diserang, dan Samaher Alqadi (2013) seorang perempuan yang menyaksikan kebejatan itu memutuskan untuk mendokumentasikan peristiwa sepanjang protes revolusi kedua dalam kameranya.

Sejarah Perjuangan Perempuan

Menonton film ini membuat saya tak habis pikir. Banyak peristiwa yang rasanya sering sekali terjadi, dan hampir sama ceritanya. Perempuan yang memutuskan untuk turun ke ruang-ruang publik dianggap tak lazim dan pantas untuk diperlakukan tidak adil. Perempuan selalu dianggap pelengkap, bahkan jauh sejak film ini dibuat—perempuan selalu menjadi objek dari masyarakat itu sendiri. Mengapa kami hanya dianggap sebagai pelengkap kehidupan? Apakah sejarah dan revolusi hanya diciptakan oleh laki-laki?

Sejak dulu peran perempuan hanya dibatasi pada pekerjaan di ranah privat. Sejarah panjang pergulatan perempuan di ruang publik ini kemudian membentuk banyak gerakan perlawanan di seluruh dunia. Dunia barat menyebutnya dengan istilah gelombang feminisme. Gerakan ini kemudian berkembang dengan banyak tuntutan yang berbeda-beda, tergantung pada konteks perjuangan perempuan dalam periode tersebut.

Jika gelombang feminisme pertama menuntut hak politik bagi perempuan, gelombang kedua menuntut hal lain yang lebih fundamental; otoritas atas tubuh. Tuntutan lain kemudian meluas pada gelombang berikutnya yang dikenal dengan feminisme interseksional, karena setiap aspek kehidupan ternyata berkelindan dengan pengalaman perempuan. Bahkan dalam feminisme interseksional kita juga dituntut untuk melihat lapisan eksploitasi yang bersembunyi pada ranah-ranah paling subtil termasuk kelas, pemikiran kolonialisme, lingkungan, ekonomi, agama, umur, gender dan ranah kehidupan lain.

Dalam film ini pun banyak sekali kelindan yang dirasakan oleh perempuan. Hak atas tubuhnya sebagai perempuan, peran domestik nya, ruang aman baginya di jalanan, dan segala hal di luar dirinya yang kerap kali membelenggu perempuan itu sendiri.

Source; https://en.unifrance.org/movie/52037/as-i-want

Bercakap dengan Keadaan

Setiap kali scene berganti dari kamera yang bergerak menuju gambar hitam putih—saya meyakini bahwa Samaher sedang bercakap-cakap dengan dirinya, ibunya atau orang terdekatnya. Ketika layar berganti, banyak pertanyaan yang muncul dalam dirinya tentang keberadaannya sebagai perempuan; cerita tentang temannya yang melakukan investigasi atas peristiwa pelecehan massal di Tahrir Square pada saat itu; ceritanya mengandung anak keduanya, pertanyaannya pada mamanya; dan segala pertanyaan yang terpatahkan hanya karena ia perempuan.

Cerita bergerak begitu dinamis, ada kesaksian seorang perempuan atas kasus pelecehan tersebut. Samaher mendengar kesaksian dari korban pelecehan yang merasa perlu melakukan tes keperawanan. Ia melihat bagaimana brutalitas kepolisian terhadap korban baik verbal maupun secara tindakan. Hal yang biasa kita temui dalam kasus pelecehan seksual, yang membuat saya begitu muak dan marah. Kita sama sekali tidak pernah mempertanyakan pelaku, menghujat pelaku atau sekedar melihat kelakuan tersebut sebagai tindak kejahatan. Kita hidup dalam dunia laki-laki yang begitu dominan. Dan film ini memotret betapa kacaunya dunia.

Hampir tak ada satu detik pun saya bisa bernafas dengan lega, seolah jantung dipacu terus menerus untuk menyaksikan kenyataan yang begitu sakit. Melihat bagaimana peristiwa bejat ini bisa terjadi dan benar-benar dialami oleh perempuan di Kairo. Rasanya saya hanya ingin memeluk diri sendiri dan meyakinkan diri bahwa peristiwa ini tidak benar-benar terjadi.

Perempuan dan Anak Adalah Korban

Protes yang terjadi atas pemerintahan Presiden Morsi setidaknya menyebabkan banyak kekisruhan sepanjang tahun tersebut. Banyak korban jiwa, kerumunan yang kemudian saling lempar, merusak fasilitas, perkelahian antara kawanan pro dan kontra pemerintahan. Semua tergambar dalam setiap scene di sepanjang film ini.

Kekacauan ini menimbulkan banyak ketakutan. Perempuan dan anak adalah korban, anak laki-laki Samaher tampak menangis menyaksikan kekisruhan yang terjadi. Ia menganggap bahwa “the bad guy is here, and they are fighting like that”. Sementara para lelaki sibuk dengan perkelahian dan protes pada revolusi kedua, hal buruk lainnya terus terjadi. Pelecehan terhadap perempuan masih belum tuntas, catcalling masih terjadi di jalan-jalan, banyak lelaki berkomentar tentang pilihan perempuan atas tubuhnya.

Bahkan dalam obrolan antar sesama perempuan, mereka menyalahkan perempuan yang tidak menutup dirinya dengan busana yang “semestinya”. Seperti hijab dan pakaian tertutup lain. Sayangnya pendapat seperti itu muncul bukan karena mereka memiliki pemikiran sendiri sebagai perempuan. Nilai-nilai itu justru muncul atas adanya dominasi di lingkungan mereka, bahkan pada lingkungan sekolah yang menganggap bahwa pilihan perempuan untuk tidak menutup dirinya adalah sebuah dosa besar.

Sesama perempuan akan saling menjatuhkan karena mereka tumbuh dalam budaya patriarki yang melihat perempuan sebagai objek, tak lebih dan tak kurang. Perlakuan ini yang kemudian membuat pemikiran tentang perempuan seharusnya tidak mengekspresikan diri di ruang publik menjadi terus berkembang. Perempuan yang tak menutup auratnya dipastikan juga akan diceraikan oleh suaminya, dan nasibnya tak akan beruntung lagi. Sebagai perempuan, kami selalu merasa “pantas” untuk menjadi “manusia kedua”. Apakah hidup akan berhenti bergerak ketika kami hidup tanpa suami? Jika iya, maka begitu sialnya hidup sebagai perempuan.

Blessing is Your Name

Sebagai seorang perempuan yang hidup selama 18 tahun di Kairo, Samaher menjadi salah satu perempuan yang berani meruntuhkan tembok patriarki dan konservatisme pemerintahan Morsi. Berbekal kamera dan sebilah pisau, ia berusaha merobek batas-batas kolot yang diciptakan masyarakat tentang tubuh perempuan. Pengalamannya di sudut kursi berlatar hitam putih adalah sebuah pengetahuan yang valid. Kameranya yang bergerak menyorot rahimnya berkembang ke ruang publik untuk memotret betapa kacaunya dunia yang diciptakan “laki-laki”. 

Ada ketegangan politik di Kairo yang menimbulkan peristiwa lain seperti terjadinya kekerasan seksual dan serangan terhadap demonstran perempuan. Dinamika politik ini terjadi karena Morsi berasal dari kelompok agama yang kuat, sedangkan otoritarianisme juga merebak pada saat itu. Penggulingan presiden Morsi oleh militer yang kemudian menambah ketegangan dan protes besar-besaran oleh kelompok Muslim Brotherhood. Hal ini berawal dari dikeluarkannya dekrit presiden yang memberi kewenangan luas pada presiden dan pendukungnya yang didominasi kaum islamis. Di sisi lain Morsi pun mengeluarkan dekrit pada militer untuk melindungi lembaga-lembaga nasional. Dekrit tersebut yang memantik protes antar kubu pro Morsi dan kubu kontra. Sejak revolusi bergejolak, kondisi kehidupan di Kairo semakin memburuk.

Samaher pantas marah, kita pantas marah atas olok-olok yang kita lihat sepanjang film, karena kekacauan yang tercipta berdampak buruk bagi perempuan. Bagaimana laki-laki memandang perempuan, bagaimana pelecehan seksual dianggap sebagai lelucon konyol yang semestinya tidak ditanggapi dengan serius. Terpilihnya Morsi dalam pemilu dan berkuasanya ia pada rezim politik Kairo juga memotret hal-hal lain di luarnya. Betapa menyedihkan kekolotan yang ditampilkan negara dalam kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan, betapa negara tak pernah belajar untuk melihat kasus ini sebagai implikasi dari sistem patriarki yang mendominasi. Morsi telah gagal, ia menciptakan kegaduhan yang berujung pelecehan massal pada perempuan di aksi protes terhadap kepemimpinannya.

Apa yang Samaher percakapkan menjadi sangat masuk akal. Bahwa otoritas terhadap tubuh adalah hal yang mutlak, bahwa terlahir sebagai perempuan bukanlah kenistaan. Kita perlu marah pada negara, kita perlu marah pada sistem yang diciptakan “laki-laki”. Kita perlu berkaca apakah masalah seperti ini juga terjadi di sekeliling kita. Dan apa yang bisa kita perbuat?

Perempuan di Kairo memilih untuk tidak tunduk. Mereka turun ke jalan dan berlipat ganda. Mereka melindungi dirinya sendiri, bahkan dalam perasaan-perasaan yang dihantui ketakutan. Dalam kekisruhan dan sialnya perasaan menjadi perempuan—seekor burung tampak hinggap di jendela, lalu kata-kata ini keluar di sela-sela burung yang akan terbang “I don’t know if I was lucky to be born a girl. But I know that I’m fully aware of the power and strength I derive from being born a girl”. Surat cinta dari Ibu Samaher yang ia bacakan di akhir film menjadi sebuah berkat dan kekuatan bahwa hidup perempuan bukanlah kesia-siaan. Dari petikan surat itu pula saya sadar bahwa perempuan juga manusia, sama seperti yang disampaikan dalam surat tersebut bahwa Samaher adalah berkat sebab dalam surat itu dikatakan bahwa “Blessing is Your Name”.

Layaknya burung di malam itu, ia punya kesadaran penuh untuk tidak terjebak dalam jendela yang bisa mengurungnya. Ia lebih memilih terbang dengan kekuatan penuh yang ia miliki. Begitu pula dengan perempuan, kami berhak hidup atas kesadaran dan pilihan kami sendiri. 

As I Want | 2021 | Director: Samaher Alqadi | Negara: Egypt, France, Germany, Palestine

*tulisan ini adalah hasil dari Lokakarya Kritik Film FFD Jogja, dipublikasikan secara pribadi tanpa kepentingan profit.